Thursday, March 31, 2016

Heroisme dan Dilema Dalam Spotlight

Kemenangan film Spotlight di Academy Awards ke-88 mendengungkan peran penting peliputan investigasi. Film ini berangkat dari penyelidikan tim investigasi Boston Globe di sepanjang 2001-2002.


Spotlight tentu meninggalkan kesan heroik bagi jurnalis dan pekerja media.Bagaimana tidak? Film yang disutradai oleh Tom McCarthy tersebut merupakan kisah tentang Boston Globe yang melakukan investigasi dan mengungkapkan serangkaian skandal pelecehan seksual yang ditutup rapat oleh Gereja Katolik Roma di kota Boston.

Tim Spotlight—tim khusus investigasi Boston Globe—yang terdiri dari Michael Rezendes, Sacha Pfeiffer, Walter Robinson, Ben Bradlee Jr, dan dibantu pemimpin redaksi Martin “Marty” Baron melacak selama berbulan-bulan berbagai data dan keterangan untuk menelusuri kasus yang sebelumnya seperti tersembunyi rapat. Film tersebut  memberikan pelajaran penting kedisiplinan dalam mengumpulkan informasi demi laporan investigasi dan membuka skandal yang tidak main-main.
Salah satu pelajaran penting tersebut adalah kegigihan menggali arsip masa lampau dari berbagai liputan yang pernah diangkat Boston Globe, hingga menemui korban secara langsung untuk mengungkap detail-detail pelecehan yang dilakukan—bahkan harus rela ditolak dan didamprat korban yang enggan diungkit masa lalunya. Hasil dari investigasi tersebut adalah laporan yang membuat kita bergidik: selama bertahun-tahun pihak gereja melindungi puluhan rohaniwan pelaku pelecehan seksual kepada anak-anak.

Film dan Jurnalisme Investigasi

Spotlight bukan film pertama yang mengangkat tema jurnalisme investigasi. Tahun 1976, film All the President’s Men dibuat sebagai adaptasi dari kisah pengungkapan skandal pemilu Amerika Serikat yang dimenangi Richard Nixon. Investigasi yang dilakukan wartawan Washington Post berhasil membuka fakta bahwa Nixon memenangi pemilihan presiden dengan curang. SebagaimanaSpotlight, film ini juga menjelaskan bagaimana pentingnya peran wartawan dalam isu-isu yang menyangkut kepentingan publik.
Bagi sebagian mahasiswa jurnalistik, film All the President’s Men menjadi salah satu topik pembicaraan dosen di kelas untuk memberikan gambaran tentang penyelidikan investigasi. Salah satu pelajaran penting yang didapatkan dalam film tersebut adalah anjuran sang pembocor skandal—dikenal sebagai Deep Throat—yang memberikan petunjuk kepada wartawan Wasington Post Bob Woodward: “follow the moneyAnjuran ini membuahkan metode penyelidikan jurnalistik berupa penelusuran jejak uang yang mengalir ke pihak-pihak berkepentingan untuk mengungkap sebuah skandal.
Selain itu, film berbau jurnalisme lain yang cukup memberikan pelajaran berharga mengenai jurnalistik adalah The Insider. Berbeda dari All The President’s Manyang membongkar permasalahan isu politik, The Insider, yang juga diadaptasi dari kisah nyata, mengulas permasalahan korporasi dan intrik legalisasi tembakau di Amerika Serikat. Ia membuka intrik yang dilakukan Seven Dwarfs, atau tujuh pemimpin perusahaan rokok di Amerika Serikat dalam mempengaruhi kongres AS untuk mengaburkan fakta bahwa nikotik tidak membuat orang kecanduan. Bergman berhasil mewawancarai salah seorang bekas petinggi perusahaan yang memberinya data-data penting. Sayangnya stasiun televisi CBS enggan menampilkan wawancara secara utuh karena takut menghadapi kemungkinan penuntutan yang akan dilakukan oleh perusahaan rokok. Dari film ini kita bisa melihat bagaimana idealisme dan kerja keras seorang wartawan dalam melakukan tugasnya mesti berhadap-hadapan dengan kepentingan media yang menaunginya. 
Spotlight bukan satu-satunya film bertemakan investigasi jurnalistik yang diproduksi Hollywood pada 2015. James Vanderbilt, sutradara kelahiran New York, juga mengangkat hal serupa dalam film panjang pertamanya, Truth. Film yang dibintangi Cate Blanchett dan Robert Redford ini menggambarkan upaya “60 Minutes”, salah satu program jurnalistik CBS, dalam mengungkap masa lalu presiden George W.Bush ketika masih bertugas di Angkatan Udara Amerika Serikat. Sementara beberapa film yang disebut di atas mengglorifikasi dan menunjukkan keberhasilan sebuah jurnalisme investigasi, film ini justru sebaliknya.Truth mempertanyakan kesahihan data yang diperoleh oleh CBS sehingga investigasi yang mereka lakukan juga menimbulkan pertanyaan.
Dari beberapa judul film—dan liputan investigasi yang menjadi inspirasi pembuatan film—terdapat satu hal pokok yang menalikan beragamnya isu dalam jurnalisme investigatif. Semuanya berangkat dari kepentingan publik. Berangkat dari kepentingan publik tersebut, berbagai data dikumpulkan untuk memperoleh detail dan membuka tabir kasus yang tertutup rapat. Kepekaan juga diperlukan dalam “membunyikan” data yang diperoleh. Dalam Spotlight misalnya, wartawanBoston Globe menemukan ketidakberesan ketika sejumlah rohaniwan yang berpindah pos penugasan diberikan keterangan sick leave, meninggalkan tugas karena sakit. Padahal mereka yang diberi keterangan tersebut diduga sudah melakukan pelecahan seksual. Kepekaan membaca data ini yang membuat wartawan Boston Globe menemukan pola yang menjadi petunjuk bagi tim Spotlight untuk mendalami kasus.

Media dan Gereja

Spotlight mengangkat pertanyaan yang menarik. Dengan besarnya skandal pelecehan seksual yang masif tersebut, kenapa tidak ada media lain yang mau memberikan ruang lebih untuk memberitakannya? Terry Ann Knopf, pengajar di jurusan jurnalistik Universitas Boston, sempat menelaah peran media pada kasus pelecehan seksual di kota Boston. Dalam telaah tersebut, ia mengkritik stasiun televisi di kota Boston, khususnya WBZ-TV dan WCVB-TV, yang seolah membungkuk kepada gereja.
Terry menjelaskan bahwa ketidakhadiran media lokal untuk membongkar permasalahan skandal pelecehan seksual disebabkan oleh beberapa hal.Pertama, isu pelecehan seksual adalah tema yang sulit untuk dibicarakan. Mendiskusikan pelecehan seksual saja sudah tak terbayangkan, apalagi jika pelecehan tersebut dilakukan oleh rohaniwan.
Kedua, keuskupan Boston berhasil menjalin hubungan dekat dengan pebisnis dan petinggi media di kota Boston. Hubungan inilah yang menciptakan persekutuan yang saling melindungi. Dalam film, persekutuan ini digambarkan melalui salah satu reporter Boston Globe yang selalu merongrong penyelidikan tim Spotlight dengan alasan bahwa kasus tersebut sudah tidak perlu diusut lagi karena sudah pernah coba diusut sebelumnya.
Hal ini bisa menunjukkan bagaimana pengaruh institusi agama terhadap media sehingga enggan memberitakan sebuah persoalan yang menyangkut kepentingan banyak orang. Diamnya media membuat para pelaku pelecehan seksual “tidak tersentuh”. Orang-orang ragu meminta penjelasan kepada gereja yang menyimpan kasus pelecehan seksual. Skandal gereja seperti ada dan tiada.
Posisi berseberangan antara Boston Globe dengan Keuskupan Boston sebagai simbol instusi keagamaan membuat film ini menarik sekaligus dilematis. Dalam tataran individu, beberapa anggota tim Spotlight dibesarkan dalam keluarga Katolik. Dengan melakukan penyelidikan ini, media seolah-olah mencoba mendelegitimasi institusi keagamaan. Akan tetapi, bila ditelisik lebih jauh, film ini bukan narasi pertentangan media dengan institusi keagamaan. “Marty” Baron, pemimpin redaksi Boston Globe yang diperankan oleh Liev Schreiber, dalam sebuah adegan menyatakan, “Tunjukan padaku bahwa gereja memanipulasi sistem yang mebuat orang-orang ini (rohaniwan) terlepas dari dakwaan … yang kita kejar adalah sistem”. 
Melalui pernyataan itu, Spotlight menyampaikan pesan pentingnya sebuah kerja jurnalisik investigasi. Niat untuk “mengejar sistem” itulah yang mengarahkan tim Spotlight mengerjakan investigasi lebih mendalam. Permasahalan pelecehan seksual di Boston tersebut bukan sekadar isu kejahatan yang dilakukan perorangan, melainkan masalah sistem yang melindungi kejahatan orang-orang yang berkuasa. Dengan laporan investigasi Boston Globe tersebut, Kardinal Law mundur dari posisnya, layaknya Nixon mundur dari kursi kepresidenan.
Dalam praktiknya, jurnalisme investigasi memang penuh dilema dan tantangan. Dalam konteks Indonesia sendiri, perkembangan media digital menuntut jurnalisme untuk mengejar kecepatan dan aktualitas. Liputan-liputan investigasi, yang membutuhkan waktu pengerjaan—dan juga biaya—yang tak sedikit, jadi seolah terpinggirkan. Dalam kondisi seperti ini, Spotlight menunjukkan bahwa investigasi media justru semakin mendesak untuk dilakukan. Sebagaimana sempat disinggung oleh “Marty” Baron, “Masyarakat yang skeptis membutuhkan liputan-liputan lokal dan institusi jurnalistik yang kuat, melalui kesungguhan kita mendengarkan yang tak berdaya dan tak bersuara.”                                                                                                       
                                                                                                         Johanes Hutabarat

Tulisan ini dimuat di situs Remotivi, 26 Maret 2016.

Friday, October 9, 2015

“The Normal One” Coba Bangunkan Raksasa Merseyside



“ Di tangan Klopp pada 2008, Dortmund yang sebelumnya  diibaratkan sebagai raksasa yang sedang tertidur diubah menjadi raksasa yang menakutkan”

Itu satu baris kalimat yang tertulis  di sebuah pemberitaan Harian Kompas, edisi 8 Oktober 2015.
Sebelumnya, delapan tahun menukangi Mainz, Jurgen Norbert Klopp berhasil membawa klub tersebut ke divisi tertinggi Liga Jerman. Atas prestasi tersebut,Borussia Dortmund tertarik  membawa Klopp  ke Signal Iduna Park.

Bergabung dengan Dortmund di tahun 2008 tidak begitu saja membawa angin perubahan. Butuh waktu tiga tahun bagi pria berkacamata tersebut untuk benar-benar membangungkan amarah Dortmund di tanah Bavaria.

Sebelum Klopp melatih, Dortmud terakhir  memenangkan titel Liga Jerman pada tahun 2002. Berkali-kali “Si Kuning Hitam” berganti-ganti pelatih.  Dortmund juga sulit bersaing di Eropa. Hal tersebut kontras dengan prestasi Dortmud di masa tahun 90-an. Di tahun 1997, trofi Liga Champions berhasil diraih Dortmund.

Tiga tahun proses “inkubasi”  yang dilakukan Klopp terhadap Dortmund membuahkan hasil manis. Dortmund jadi jawara Liga Jerman dua tahun berturut-turut, pada 2011 dan 2012. Klopp bersama pemain-pemain asuhan, yang kebanyakan pemain-pemain muda, sebut saja seperti Marco Reus, Matt Hummels, Ivan Perisic atau Mario Gotze yang pada waktu jadi pasukan penggedor klub-klub pesaing Dortmund.

Kenangan manis Klopp yang membuahkan enam trofi bagi Dortmund tak akan terlupakan. Akan tetapi, menurunnya prestasi Dortmund di musim 2014-2015, sempat membuat suasana muram. Klopp pun memilih mengundurkan diri dari Signal Iduna Park. Tidak langsung mengambil keputusan melatih, Klopp justru lebih memilih melakukan istirahat sabatikal. Masa istirahat berjalan sekitar empat bulan sejak pengunduran dirinya dari Signal Iduna Park.

Di tanah Inggris, terjadi sebuah peristiwa. Si “Merah” asal Merseysisde, baru saja memberhentikan masa tugas Brendan Rodgers. Rodgers tidak berhasil mempersembahkan satu trofi pun bagi Liverpool selama tiga tahun kepempimpinannya. Di tanah Inggris, Liverpool merupakan satu dari lima raksasa. Hanya saja Liverpool, adalah raksasa yang paling lama tertidur dibandingkan  empat raksasa lain yang tersebar di London dan Manchaster.

 Angin pemberitaan pun mengehembuskan kabar bahwa pria kelahiran Stuttgart akan menukangi Liverpool. Berita, tak sekadar jadi isu.

Fenway Sports Group segera ambil ancang-ancang. Klopp pun kepincut ajakan Liverpool. Masa sabatikal usai. Klopp memilih turun gunung.

Di  konferensi pers yang dilakukan setelah pengenalan dirinya sebagai pelatih Liverpool, wartawan menanyakan bagaimana Klopp mendeskripsikan dirinya. Dengan sederhana ia mendeskripsikan, bahwa ia hanyalah orang biasa.

Ucapan merendah Klop dibungkus dengan kalimat yang jadi kata pembuka    di Liverpool. “I am a Normal One”,seloroh Klopp, yang disambut  tawa wartawan di ruang konferensi pers.

Seloroh Klopp memang bernada canda. Akan tetapi, Fenway Sports Group dan penggemar Liverpool tidak membutuhkan hal yang “normal-normal” saja. Liverpool butuh lecutan, agar sadar ketertinggalan prestasinya dibandingkaan empat raksasa lainnya.

Apakah “The Normal One” dapat kembali membangkitkan amarah raksasa dari Merseyside? 



Wednesday, September 9, 2015

Demi Sebuah Kursi Kereta

Jam menunjukkan pukul 6 pagi saat
Ribka Lim menunggu kereta commuter
line di Stasiun Bogor. 

Perempuan usia 25 tahun ini akan berangkat ke kantornya di
kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Ribka
tidak sendirian. Ia bersama janin yang
sudah lima bulan dikandungnya.

Sebagai perempuan hamil, Ribka merupakan
penumpang dengan kursi prioritas di
dalam gerbong. Namun akuntan ini mengeluhkan
perilaku penumpang atas kursi
prioritas.

 “Ada aja orang yang nggak tau diri.
Ada cewek sehat dan masih muda, tapi asyik
tidur pulas di kursi prioritas,” tuturnya.

Lain lagi pengalaman Tari. Guru yang
biasa menggunakan commuter line dengan
rute Tangerang – Kampung Bandan ini punya
banyak pengalaman tentang perebutan
jatah kursi kereta. Ia pernah melihat seorang
laki-laki tertidur pulas hingga dibangunkan
petugas kereta agar memberikan kursinya
kepada Tari yang berdiri. “Saya jadi serba
salah, tak enak hati. Saya hanya bilang
terima kasih, terus pura-pura tidur saja,” kata
wanita yang sedang hamil tujuh bulan ini.

Setiap hari wanita hamil kerap harus
berjuang dan bersaing dengan 150 hingga
200 penumpang lain dalam gerbong commuter
line untuk mendapatkan kursi. Setiap
harinya, terutama pada jam berangkat dan
pulang kerja, gerbong-gerbong commuter
line dipenuhi penumpang yang harus
berebut kursi.

Walau merasa tidak nyaman karena
harus berdesakan dengan penumpang lain
saat sedang hamil, bagi Tari, commuter line tetap menjadi pilihan moda trasportasi
utama untuk mencapai tempat kerja. Alasannya,
selain harga tiket yang terjangkau,
commuter line menjadi solusi efektif untuk
menghindari kemacetan jalan Ibu Kota.

“Mau gimana lagi, dari rumah sampe kantor
ya paling cepet naik kereta,” katanya.
Tari mengeluh sebenarnya tersiksa naik
kereta saat sedang hamil, tapi tetap saja naik
kereta pergi-pulang.

Ribka dan Tari yang sedang mengandung,
bersama penyandang disabilitas, ibu
membawa anak, dan lanjut usia termasuk
dalam kelompok penumpang prioritas untuk mendapatkan tempat duduk. Di setiap
sudut gerbong commuter line tersedia kursi
khusus untuk penumpang prioritas.

Stiker imbauan soal tempat duduk prioritas
dipasang di dinding gerbong commuter
line. Imbauan juga disampaikan petugas
melalui pengeras suara di setiap gerbong
kereta. Kenyataannya, penumpang non-prioritas
sering merasa berhak menduduki
semua kursi di gerbong tanpa terkecuali.

Dengan tarif tiket yang sama, kebanyakan
penumpang merasa memiliki hak yang
sama untuk duduk di setiap kursi.
Tak jarang ada penumpang pura-pura tertidur dan pura-pura hamil atau bahkan
dengan sengaja menolak bangkit dari
duduk. Penumpang lain biasanya mencibir
atau berseloroh sengit, “Selamat ya bayinya,
semoga sehat!”

“Kita bayar dengan harga yang sama, jadi
semua orang punya hak duduk. Siapa cepat
dia dapat,” kata Jeannette, pegawai marketing
communication yang biasa menggunakan
kereta rute Manggarai -Tanjung Barat.

“Kalo capek, ketiduran, ya sudah,” ujar
Dwi, bankir yang biasa menggunakan
commuter line dari tempat tinggalnya di
Serpong.

Kebanyakan penumpang yang lelah
setelah beraktivitas seharian, berharap dapat
duduk kursi di commuter line selama perjalanan.
“Semua orang juga inginnya duduk.
Gue udah capek-capek kuliah, pulang harus
berdiri dan hampir nggak pernah duduk,”
kata Rebecca, mahasiswa universitas di
bilangan Jakarta Barat.

Di sisi lain, penumpang diimbau untuk
memprioritaskan orang-orang yang memiliki
kebutuhan khusus, salah satunya wanita
hamil. Umumnya pengguna mengetahui
imbauan untuk memberikan kursi bagi
kelompok pengguna tertentu. Namun,
pekerjaan yang melelahkan dan jalanan Jakarta
yang keras, tidak serta merta membuat
mereka merelakan kursinya untuk penumpang
lain.

“Gue juga pernah pura-pura tidur saat
lihat kakek-kakek, karena gue lelah banget,”
kata Rebbeca.

Di setiap gerbong commuter line tersedia
12 kursi prioritas. Jika kursi prioritas terisi
penuh, penumpang prioritas bisa duduk di
kursi umum. Penumpang lain pada akhirnya
diharuskan memberikan haknya dan
memberikan kursinya kepada penumpang
prioritas.

”Jika ada ibu-ibu yang lebih tua atau ibuibu
bawa anak kecil, kalo saya lagi duduk
pasti langsung berdiri dan kasih tempat saya
ke dia,” uar Dwi.

Namun, ternyata gerbong khusus wanita
tak menjamin keselamatan ibu hamil dan
kandungannya. Tari menuturkan, banyak
penumpang wanita sering dorong-dorongandan tidak peduli dengan sesamanya menjadikan
sebagian penumpang yang hamil
memilih untuk duduk di gerbong biasa.
“Semuanya pada dorong-dorongan saat
hendak masuk kereta. Mentang-mentang sama-
sama perempuan. Sering banget hampir
jatuh karena didorong ibu-ibu lain,” ujarnya.

Tari pun lebih memilih gerbong campuran
dibandingkan gerbong khusus perempuan.
Sebab, di gerbong perempuan
sebagian
penumpangnya sering pura-pura
tertidur. ”Di gerbong biasa, kebanyakan
kaum pria sering mengalah. Tapi ada juga
sih cewek yang kasih tempat duduknya buat
saya.”

Djoko Setijowarno, pengamat transportasi
dari Universitas Atma Jaya, menilai tindakan
tidak memberikan kursi bagi penumpang
prioritas masih sebatas masalah moral. “Hukumannya
berasal dari sesama pengguna,”
ujarnya.

Membandingkan dengan Singapura,
menurut Djoko, negara yang berjarak 885
kilometer dari Jakarta itu sangat memprioritaskan
orang-orang dengan kebutuhan
khusus.

Pemberian kursi bagi kelompok penumpang
prioritas memang diperlukan, tetapi
semestinya tidak begitu saja menyingkirkan
hak penumpang lain. Pemerintah perlu
menambah kereta, memperbaiki layanan
bangku, daripada membiarkan sesama
pengguna terlibat persoalan moral serta
terpaksa adu kuat dan cepat.

“Siapa cepat datang, ia dapat. Hukum
rimba kan, di Jakarta ini,” kata Jeannette.

                                                                                             Johanes Hutabarat dan Yonathan Egan                              
                                Tulisan ini diambil dari Majalah Geo Times Edisi 31 Agustus - 6 September 2015

Tuesday, March 17, 2015

Stagnasi Dua Klub Kota Mode

Stagnasi Dua Klub Kota Mode
                                                                       
Dua klub kota Milan kembali mengalami kemandekan pada Giornata ke-27. AC Milan harus  kalah  dari Fiorentina, serta Inter yang hanya dapat meraih satu poin saat berjumpa Cesena. Terasa berat bagi kedua klub untuk mencaapai zona Eropa pada akhir musim, walaupun materi pemain yang dimiliki cukup mumpuni.
Pemain kedua klub sebenarnya tergolong mumpuni untuk mengarungi musim 2014-2015. Mulai dari Il Diavolo Rosso,  yang memiliki pemain sekelas,  Keisuke Honda. Selain itu ada gelandang Timnas Belanda, Nigel De Jong yang pernah berprestasi bersama Manchaster City, juga Jeremy Menez yang diboyong dari PSG pada awal musim.
Si biru hitam, tak kalah kemilau materi pemainnya. Lihat saja bomber 15 Gol di 26 penampilannya. Xherdan Shaqiri, yang pernah bermain bersama Bayern Munchen dan bersinar di timas Swiss pada Piala Dunia Brasil juga dibawa ke klub ini. Tidak hanya baik di lini serang, materi pemain belakang juga cukup menonjol dengan nama besar mantan pemain Manchaster United, Nemanja Vidic.
Lantas, apa yang membuat kedua klub tampak “malu-malu” pada musim ini? Ada beberapa kemungkinan yang membuktikan kemandekan dua klub sekota ini. Salah satu penyebab bisa dimulai dari anggaran belanja pemain yang terbatas. 
AC Milan contohnya, mendapatkan pemain seperi Jeremy Menez dari Paris Saint-Germain dan kiper Diego Lopez dari Real Madrid secara cuma-cuma. Akan tetapi , menurut Sheridan Bird di situs Daily Mail, penmbatasan anggaran belanja  bukanlah karena AC Milan mengalami krisis finansial. Sheridan Bird mengutip perkataan Andrea Bricchi di Pianeta Milan (Planet Milan), bahwa Berlusconi, masih salah satu orang terkaya di Italia. “ Ia bisa saja menghabiskan 300 juta euro, akan tetapi penasihatnya melarangnya”, mengutip Bricchi. Para penasihat Berlusconi menganggap menghabiskan banyak dana demi kepentingan karir dan popularitas Berlusconi sendiri dalam bidang politik terkait isu pengetatan yang didengungkan Italia.
Anggaran belanja pemain yang terbatas juga dialami oleh Inter Milan. Mengutip Tribal Football, Roberto Mancini pun menyatakan bahwa hal tersebut bukanlah masalah. “ Aku tak tahu yang akan terjadi. Pertama aku harus mengerti skuat. Tidak mudah untuk mengontrak pemain pada bulan Januari denga segera”, kata Mancini menanggapi kedatangannya kembali ke Inter  pada Januari 2015.
Tidak hanya masalah anggaran belanja pemain, faktor pelatih juga merupakan  penentu. Mari kita lihat ketidakstabilan dua klub ini dalam melakukan penempatan pelatih. Dalam waktu sekitar hampir satu setengah tahun saja, AC Milan sudah memiliki tiga pelatih yang berbeda. Yaitu Tassoti yang menjadi pelatih sementara  setelah Massimilano Allegri dipecat pada akhir 2014. Setelah Tassoti, salah satu nama yang pernah berkontribusi bagi kehbatan AC Milan,  Clarence Seedorf pun dipercaya untuk memimpin AC Milan. Akan tetapi kinerja Seedord juga tidak dapat memuaskan para petinggi Milan, ia pun digantikan oleh teman seperjuangan Seedorf saat masih berseragam AC Milan, yakni Fillipo Inzaghi.
Inter masih bisa dianggap lebih stabil dibandingkan Milan dalam hal penggantian pelatih. Dalam waktu 2013-2015, Internazionale dikomandoi oleh 3 pelatih yang berbeda.  Akan tetapi, bila dirunut sejak sukses besar menyabet 3 trofi berbeda dalam satu musim pada 2010, saat masih dipimpin Jose Mourinho,  Inter sudah melakukan 7 pergantian pemain sampai tahun 2015 ini. Coba bayangkan bagaimana kedua klub kota yang berjarak 478 kilometer dari Ibukota Roma ini melakukan pergantian pelatih. Padahal dibutuhkan kestablian dalam sebuah tim, terutama pada penerapan strategi kepada pemain.
Melihat dengan kacamata yang lebih besar
Akan tetapi, kemunduran dua klub kota mode, juga menjadi sebuah representasi kemunduran sepakbola Italia khususnya. Dua klub dulu pernah menjadi tempat berlabuhnya bintang-bintang dunia. Lihat saja bagaimana beberap decade lalu, saat Lothar Matthaus, Ronaldo Da Lima,Marco Van Basten, Ruud Gullitt, atau Jurgen Klinsman di masing-masing klubya di kota Milan.
Sejak sukses besar Inter pada 2010 bersama Mourinho, dan terakhir kali Milan meraih Scudetto bersama Allegri pada 2011, kedua klub ini terus mengalami kemunduran. Kalau melihat peringkat kedua klub pada sekarang ini masih harus berkutat di papan tengah memang sebuah keadaan kontras dengan nama besar mereka. Memang hal tersebut tidak hanya terjadi di Italia, nasib yang sama juga dialami oleh Manchaster United di Liga Inggris musim 2013-2014. Bedanya Manchaster United sudah berhasil bangkit pada musim ini. Sedangkan dua klub bertetangga Milan masih saja terlihat bersusah payah mengarung Serie A, paling tidak 2 musim terakhir.
Kemunduran dua klub  baik di liga domestik maupun Eropa tampak seperti anggukan terhadap penilaian media bahwa  Serie A telah memasuki masa kesuraman. Akan tetapi, penting bagi dua klub perlu memperbaiki manjemen sampai ke strategi untuk menghentikan teriakan para tifosi: Dalle stelle alle stalle, atau dari bintang ke kandang.






Thursday, June 12, 2014

Perlunya Daya Saing Merk Lokal

Jalan-jalan di mall karena bingung mau ke mana saat akhir pekan, atau lebih tepatnya  "ngadem" karena cuaca yang begitu panas memang menjadi salah satu pilihan. Lantas penulis merasakan gemerlapnya lampu mall seraya melihat salah satu toko busana asal luar negeri, (dari negeri sakura). Memang toko tersebut dirancang agar pengunjung nyaman, dengan warna-warna cerah, dinamis, khas anak muda.

Di depan toko, kebetulan penulis melihat  harga yang dipasang di atas tumpukan celana-celana di sebuah meja. Harga celana tersebut cukup mengejutkan, dengan toko yang begitu menarik, merk terkenal, serta terletak di mall besar juga, sepotong celana dibanderol dengan Rp. 200.000,00.  Di bagian lain, toko tersebut menyediakan lima pasang kaus kaki dengan warna-warna pastel yang menurut penulis cukup unik, dengan harga Rp.100.000,00. Penulis pun cukup terkejut dengan harga tersebut, di mana bila kita pergi ke Pasar Pagi Mangga Dua, lima pasang kaus kaki dengan warna dan kualitas yang bagus belum tentu busa didapat dengan harga Rp. 100.000,00.

Harga-garga murah memang menjadi magnet bagi masyarakat terutama kelas menangah perkotaan. Tidak hanya-harga yang murah, toko tersebut dapat memadu padankan harga dengan situasi toko, dengan corak-corak yang menggambarkan dinamisme serta memberi kesan mewah, tidak ketingggalan kualitas barang yang disediakan juga menjanjikan. Lalu, bagaimana dengan merk-merk lokal ? Mampukah mereka bersaing dengan merk-merk luar negeri tersebut ?

Tidak heran kita mendengar di zaman pasar bebas sekarang ini produk-produk dalam negeri kalah bersaing. Mungkin bukan karena masalah kualitas, akan tetapi harga yang dipasang oleh produsen lokal kalah bersaing karena mereka masih belum terjun di pasar industri besar seperti toko-toko asal luar negeri lainnya.

Banyak pihak yang seharusnya memberikan perhatian pada permasalahan ini. Pemerintah turut mempunyai peran besar bagaimana produsen lokal agar tetap memiliki daya saing dengan pemain asal luar yang berinvestasi di Indonesia. Selain itu produsen lokal juga harus bisa memerhatikan tren-tren yang ada saat ini, bagaimana sebuah produk dirancang agar tetap baik kualitasnya juga peningkatan  pemasaran produk.

Thursday, March 6, 2014

Crimea : Panggung Rusia di Eropa



Tidak salah keadaan di Ukraina dinilai sebagai babak baru perseteruan baru antara Timur dan Barat. Semenanjung  Crimea yang berada di Selatan Ukraina yang mayoritas penduduknya berbahasa Rusia menjadi titik perpecahan antara Timur dan Barat. Rusia  merasa memiliki kepentingan untuk melindungi warga semenanjung Crimea yang berbahasa Rusia. Akan tetapi di sisi lain Kiev yang telah diduki pihak pro-UE tidak menginginkan adanya campur tangan Rusia, hal senada juga dilontarkan oleh pihak Uni Eropa bersama dengan Amerika Serikat.
Rusia Masih Menginginkan Rekan
Pertikaian di Ukraina sekarang ini tidak seperti menjadi pengingat kembali memori  masyarakat internasional akan perang dingin antara Blok Timur dan Blok Barat. Rusia kerap memiliki sikap yang berseberangan dengan Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa mengenai beberapa permasalahan, termasuk  permasalahan di Timur Tengah.  Rusia tampak ingin menunjukkan bahwa diri mereka masih ada  dan tidak terhapus  dari ingatan akan negara kuat dan berpengaruh. Seperti yang diketahui bahwa Ukraina merupakan salah satu negara pecahan Uni Soviet dan memiliki hubungan yang baik dengan Rusia semasa Yanukovych berkuasa. Ukraina mengimpor gas dari Rusia, sebaliknya Rusia menjadi pengimpor barang-barang berat seperti baja. Mantan Presiden Yanukovych menganggap penting hubungan kedua Negara tersebut mengingat Ukraina  membutuhkan gas yang dipasok oleh Rusia. Rusia tidak rela apabila sekutunya  bergabung dengan UE dan Amerika Serikat.  Rusia pun tidak segan-segan  menjanjikan bantuan sebesar 15 miliar dolar kepada Ukraina. Langkah tersebut menunjukkan upaya Rusia  menarik kembali perhatian Ukriana sebagai “tetangga yang pernah serumah”.

Crimea Sebagai Panggung
Semenanjung Crimea menjadi arena unjuk gigi bagi Rusia untuk menarik simpati penduduk Ukraina yang  berbahasa Russia di daerah tersebut. Sekelompok anggota bersenjata tidak beridentitas mulai menduduki wilayah tersebut. Banyak yang menganggap bahwa pasukan tidak beridentitas tersebut diorganisir oleh Rusia. Rusia merasa berhak untuk melindungi etnis Rusia yang menjadi mayoritas di Crimea. Tampak Moskwa memiliki alasan untuk dapat memasuki wilayah Ukraina tersebut. Beberapa kalo terjadi bentrokan antara kelompok pendukung Ukraina dan Rusia.





Di sisi lain, negara-negara Uni Eropa masih harus menjaga hubungan baik dengan Rusia sementara mereka juga mengencam Rusia  membawa pasukan ke Crimea. Negara-negara UE juga membutuhkan pasokan gas dari Rusia. Menurut laporan AFP, 66% gas Rusia diimpor oleh Negara-negara Uni Eropa melalui Ukraina, dengan Jerman sebagai pengimpor terbesar. Pipa-pipa gas menjalar dari Rusia melalui Ukraina dan disebarkan ke Negara-negara Eropa lainnya. Kenyataan tersebut mebuat Rusia untuk sementara dapat  “sedikit beraksi”.  Uni Eropa mendukung Ukriana untuk ikut bergabung.  Akan tetapi Mantan Presiden Yanukovych pada November 2013 tidak menandatangani persetujuan  hubungan lebih mendalam antara UE dan Ukraina mengingat Yanukovych merasa  Ukraina masih tergantung dengan Rusia dalam masalah energi. Hal ini yang membuat warga Ukraina pro-UE menjadi marah dan melakukan demonstrasi di Kiev.

Dunia perlu memperhatikan sikap Rusia dan juga  mendengar Crimea mengenai keberadaan otonomi mereka. Ukraina sendiri harus memperhatikan Crimea dan pendapat mereka apakah langkah terbaik yang akan diambil. Apakah warga Crimea yang mayoritas berbahasa Rusia akan menjadi warga kelas terpinggirkan, mengeingat  hal tersebut diwaspadai oleh kelompok ini.Walaupun Moskwa merasa berhak untuk melaukan pengamanan warga berbahasa Rusia, akan tetapi Rusia perlu juga menahan diri agar tidak membuat permasalahan menjadi lebih ruwet yang nantinya akan menyusahkan kawasan Eropa Timur tersebut. 

Friday, February 28, 2014

Kiev Diduki Pro-Barat, Ukraina Terpecah ?

Barricades in front of a government building in Simferopol on February 27 hold a banner that reads: "Crimea Russia." There's a broad divide between those who support the pro-Western developments in Kiev and those who back Russia's continued influence in Crimea and across Ukraine.





Yanukovych telah lengser dari singgasana presiden Ukraina. Ia  melarikan diri, salah satu dugaan baik masyarakat Ukraina maupun masyarakat internasional ia  pergi ke  Rusia untuk mendapatkan perlindungan.
Selepas pergantian kekuasaan di Ukraina, bagi etnis Rusia yang berada di negeri tersebut, membuat keadaan menjadi tidak aman. Perpecahan  nampak antara etnis Ukraina yang berada di wilyah Barat dan etnis Rusia di wilayah Timur. Kerusuhan terjadi di sevastopol, kota yang berada diwilayah otonomi Ukraina, yakni Crimea. Daerah Crimea memiliki penduduk yang mayoritas adalah etnis Rusia, dalam permasalahan ini mereka turut pro-Rusia. 

Permasalahn di Ukraina semakin sulit , di mana pihak pro Barat yang telah menduduki Kiev menginginkan terjadinya kesepakatan antara Kiev dengan Uni Eropa demi kesejahteraan Ukraina. Akan tetapi, ada hal yang luput dari perhatian masyarakat internasional akan timbulnya permasalahan baru, yakni adanya perselisihan antar etnis di Ukraina sendiri. Militer Rusia disinyalir berpotensi untuk masuk ke wilayah Criema. Hal ini telah dikecam oleh berbagai pihak agar Rusia tidak ikut campur tangan.


Pihak luar Ukraina seperti negara-negara Uni Eropa beserta Amerika Serikat harus berupaya untuk " tidak masuk" ke dalam permasalahn internal Ukrina. Paling tidak Uni Eropa dan Amerika Serikat mencegah Rusia untuk tidak masuk ke Ukraina dengan cara-cara militer.