Di depan toko, kebetulan penulis melihat harga yang dipasang di atas tumpukan celana-celana di sebuah meja. Harga celana tersebut cukup mengejutkan, dengan toko yang begitu menarik, merk terkenal, serta terletak di mall besar juga, sepotong celana dibanderol dengan Rp. 200.000,00. Di bagian lain, toko tersebut menyediakan lima pasang kaus kaki dengan warna-warna pastel yang menurut penulis cukup unik, dengan harga Rp.100.000,00. Penulis pun cukup terkejut dengan harga tersebut, di mana bila kita pergi ke Pasar Pagi Mangga Dua, lima pasang kaus kaki dengan warna dan kualitas yang bagus belum tentu busa didapat dengan harga Rp. 100.000,00.
Harga-garga murah memang menjadi magnet bagi masyarakat terutama kelas menangah perkotaan. Tidak hanya-harga yang murah, toko tersebut dapat memadu padankan harga dengan situasi toko, dengan corak-corak yang menggambarkan dinamisme serta memberi kesan mewah, tidak ketingggalan kualitas barang yang disediakan juga menjanjikan. Lalu, bagaimana dengan merk-merk lokal ? Mampukah mereka bersaing dengan merk-merk luar negeri tersebut ?
Tidak heran kita mendengar di zaman pasar bebas sekarang ini produk-produk dalam negeri kalah bersaing. Mungkin bukan karena masalah kualitas, akan tetapi harga yang dipasang oleh produsen lokal kalah bersaing karena mereka masih belum terjun di pasar industri besar seperti toko-toko asal luar negeri lainnya.
Banyak pihak yang seharusnya memberikan perhatian pada permasalahan ini. Pemerintah turut mempunyai peran besar bagaimana produsen lokal agar tetap memiliki daya saing dengan pemain asal luar yang berinvestasi di Indonesia. Selain itu produsen lokal juga harus bisa memerhatikan tren-tren yang ada saat ini, bagaimana sebuah produk dirancang agar tetap baik kualitasnya juga peningkatan pemasaran produk.