Wednesday, September 9, 2015

Demi Sebuah Kursi Kereta

Jam menunjukkan pukul 6 pagi saat
Ribka Lim menunggu kereta commuter
line di Stasiun Bogor. 

Perempuan usia 25 tahun ini akan berangkat ke kantornya di
kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Ribka
tidak sendirian. Ia bersama janin yang
sudah lima bulan dikandungnya.

Sebagai perempuan hamil, Ribka merupakan
penumpang dengan kursi prioritas di
dalam gerbong. Namun akuntan ini mengeluhkan
perilaku penumpang atas kursi
prioritas.

 “Ada aja orang yang nggak tau diri.
Ada cewek sehat dan masih muda, tapi asyik
tidur pulas di kursi prioritas,” tuturnya.

Lain lagi pengalaman Tari. Guru yang
biasa menggunakan commuter line dengan
rute Tangerang – Kampung Bandan ini punya
banyak pengalaman tentang perebutan
jatah kursi kereta. Ia pernah melihat seorang
laki-laki tertidur pulas hingga dibangunkan
petugas kereta agar memberikan kursinya
kepada Tari yang berdiri. “Saya jadi serba
salah, tak enak hati. Saya hanya bilang
terima kasih, terus pura-pura tidur saja,” kata
wanita yang sedang hamil tujuh bulan ini.

Setiap hari wanita hamil kerap harus
berjuang dan bersaing dengan 150 hingga
200 penumpang lain dalam gerbong commuter
line untuk mendapatkan kursi. Setiap
harinya, terutama pada jam berangkat dan
pulang kerja, gerbong-gerbong commuter
line dipenuhi penumpang yang harus
berebut kursi.

Walau merasa tidak nyaman karena
harus berdesakan dengan penumpang lain
saat sedang hamil, bagi Tari, commuter line tetap menjadi pilihan moda trasportasi
utama untuk mencapai tempat kerja. Alasannya,
selain harga tiket yang terjangkau,
commuter line menjadi solusi efektif untuk
menghindari kemacetan jalan Ibu Kota.

“Mau gimana lagi, dari rumah sampe kantor
ya paling cepet naik kereta,” katanya.
Tari mengeluh sebenarnya tersiksa naik
kereta saat sedang hamil, tapi tetap saja naik
kereta pergi-pulang.

Ribka dan Tari yang sedang mengandung,
bersama penyandang disabilitas, ibu
membawa anak, dan lanjut usia termasuk
dalam kelompok penumpang prioritas untuk mendapatkan tempat duduk. Di setiap
sudut gerbong commuter line tersedia kursi
khusus untuk penumpang prioritas.

Stiker imbauan soal tempat duduk prioritas
dipasang di dinding gerbong commuter
line. Imbauan juga disampaikan petugas
melalui pengeras suara di setiap gerbong
kereta. Kenyataannya, penumpang non-prioritas
sering merasa berhak menduduki
semua kursi di gerbong tanpa terkecuali.

Dengan tarif tiket yang sama, kebanyakan
penumpang merasa memiliki hak yang
sama untuk duduk di setiap kursi.
Tak jarang ada penumpang pura-pura tertidur dan pura-pura hamil atau bahkan
dengan sengaja menolak bangkit dari
duduk. Penumpang lain biasanya mencibir
atau berseloroh sengit, “Selamat ya bayinya,
semoga sehat!”

“Kita bayar dengan harga yang sama, jadi
semua orang punya hak duduk. Siapa cepat
dia dapat,” kata Jeannette, pegawai marketing
communication yang biasa menggunakan
kereta rute Manggarai -Tanjung Barat.

“Kalo capek, ketiduran, ya sudah,” ujar
Dwi, bankir yang biasa menggunakan
commuter line dari tempat tinggalnya di
Serpong.

Kebanyakan penumpang yang lelah
setelah beraktivitas seharian, berharap dapat
duduk kursi di commuter line selama perjalanan.
“Semua orang juga inginnya duduk.
Gue udah capek-capek kuliah, pulang harus
berdiri dan hampir nggak pernah duduk,”
kata Rebecca, mahasiswa universitas di
bilangan Jakarta Barat.

Di sisi lain, penumpang diimbau untuk
memprioritaskan orang-orang yang memiliki
kebutuhan khusus, salah satunya wanita
hamil. Umumnya pengguna mengetahui
imbauan untuk memberikan kursi bagi
kelompok pengguna tertentu. Namun,
pekerjaan yang melelahkan dan jalanan Jakarta
yang keras, tidak serta merta membuat
mereka merelakan kursinya untuk penumpang
lain.

“Gue juga pernah pura-pura tidur saat
lihat kakek-kakek, karena gue lelah banget,”
kata Rebbeca.

Di setiap gerbong commuter line tersedia
12 kursi prioritas. Jika kursi prioritas terisi
penuh, penumpang prioritas bisa duduk di
kursi umum. Penumpang lain pada akhirnya
diharuskan memberikan haknya dan
memberikan kursinya kepada penumpang
prioritas.

”Jika ada ibu-ibu yang lebih tua atau ibuibu
bawa anak kecil, kalo saya lagi duduk
pasti langsung berdiri dan kasih tempat saya
ke dia,” uar Dwi.

Namun, ternyata gerbong khusus wanita
tak menjamin keselamatan ibu hamil dan
kandungannya. Tari menuturkan, banyak
penumpang wanita sering dorong-dorongandan tidak peduli dengan sesamanya menjadikan
sebagian penumpang yang hamil
memilih untuk duduk di gerbong biasa.
“Semuanya pada dorong-dorongan saat
hendak masuk kereta. Mentang-mentang sama-
sama perempuan. Sering banget hampir
jatuh karena didorong ibu-ibu lain,” ujarnya.

Tari pun lebih memilih gerbong campuran
dibandingkan gerbong khusus perempuan.
Sebab, di gerbong perempuan
sebagian
penumpangnya sering pura-pura
tertidur. ”Di gerbong biasa, kebanyakan
kaum pria sering mengalah. Tapi ada juga
sih cewek yang kasih tempat duduknya buat
saya.”

Djoko Setijowarno, pengamat transportasi
dari Universitas Atma Jaya, menilai tindakan
tidak memberikan kursi bagi penumpang
prioritas masih sebatas masalah moral. “Hukumannya
berasal dari sesama pengguna,”
ujarnya.

Membandingkan dengan Singapura,
menurut Djoko, negara yang berjarak 885
kilometer dari Jakarta itu sangat memprioritaskan
orang-orang dengan kebutuhan
khusus.

Pemberian kursi bagi kelompok penumpang
prioritas memang diperlukan, tetapi
semestinya tidak begitu saja menyingkirkan
hak penumpang lain. Pemerintah perlu
menambah kereta, memperbaiki layanan
bangku, daripada membiarkan sesama
pengguna terlibat persoalan moral serta
terpaksa adu kuat dan cepat.

“Siapa cepat datang, ia dapat. Hukum
rimba kan, di Jakarta ini,” kata Jeannette.

                                                                                             Johanes Hutabarat dan Yonathan Egan                              
                                Tulisan ini diambil dari Majalah Geo Times Edisi 31 Agustus - 6 September 2015